Rumput yang keriing sangat mudah
untuk terbakar. Sedikit saja aga api, maka rumput itu sangat mudah untuk
terbakar. Demikianlah, permisalah kaum muslimin pada sekarang ini. Suasana yang
tentram dapat berudah menjadi menakutkan dan mencekam hanya karena adanya isu
yang belum tentu benar.
Oleh karena itu, dalam menyikapi
berbagai berita yang ada, kita harus:
1. Lihatlah Keadaan Penyampai Berita
Hal
ini berlandaskan kepada firman Allah Subhannahu wa Ta'ala, yang artinya,
“Hai
orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu itu”.(QS. Al Hujurat: 6)
Dalam ayat ini Allah Subhannahu wa
Ta'ala memerintahkan kita untuk bertatsabbut atau tabayyun yakni
mengecek kebenaran berita yang kita dengar. Dan sebelumnya tentu harus dilihat
terlebih dahulu keadan si pembawa berita, apakah dia seorang yang jujur dan
bertanggung-jawab atau kah seorang yang fasiq? Tabayyun terhadap berita
yang disampaikan oleh seorang fasiq adalah wajib.
Maka apabila kita mendengar berita
tetang seseorang, selayaknya dilihat terlebih dahulu orang yang menyampaikan
berita tersebut. Karena bisa jadi dia sedang ada permusuhan, sengketa, hasad,
dendam atau persaingan tidak sehat dengan orang yang dia tuduh. Dan boleh jadi
juga, dia (penyampai berita) memang orang yang ada cacat di dalam sisi agama
dan amanahnya, sehingga beritanya layak untuk di tolak.
Berkata Imam as Sakhawi, "Ibnu
Abdil Barr berpendapat, bahwa ahli ilmu tidak menerima jarh (berita negatif),
kecuali dengan bukti yang jelas, kalau sekiranya dalam kasus itu ada permusuhan
maka selayaknya berita tersebut tidak diterima."
2. Mengecek Kebenaran Berita
Setelah kita melihat keadaan pembawa
berita, maka langkah selanjutnya adalah melihat kebenaran berita yang
disampaikan (tabayyun).
Mengomentari firman Allah Subhannahu
wa Ta'ala dalam ayat enam surat al Hujurat, Syaikh Muhammad al-Amin
asy-Syanqithi berkata," Ayat dari surat al Hujurat ini menunjukkan dua
permasalahan:
Pertama, Bahwa
apabila seorang fasiq membawa berita, maka boleh untuk diketahui kebenarannya,
apakah berita yang disampaikan si fasiq itu benar atau dusta, maka wajib untuk
tatsabbut (dicek).
Kedua,
Berdasarkan ini ahli ilmu ushul berpendapat tentang diterima-nya berita yang
adil, karena firman Allah, "Jika datang kepadamu seorang fasiq dengan
membawa berita, maka telitilah" mengisyaratkan kepada berita yang
disampaikan. Maksud saya pengertian balik (mafhum mukhalafah) dari ayat ini
adalah kalau yang datang membawa berita bukan orang fasiq, namun seorang yang
adil (terpercaya), maka tidak harus diteliti beritanya.
Demikian pula di dalam periwayatan
atau menukil ilmu, maka harus dibedakan antara rawi yang bagus hafalannya
dengan yang buruk hafalannya, yang bagus pemahamannya dengan yang tidak, yang
bagus ta'bir (ungkapan bahasanya) dengan yang rendah, apa lagi dalam hal
kejujuran dan amanahnya.
Karena suatu berita apabila
disampaikan oleh orang yang lemah ingatannya atau buruk pemahamannya, atau pun
tidak bagus ungkapannya, maka berita itu menjadi lemah. Oleh karenanya berita
tersebut musti diteliti, karena bisa jadi berita tersebut menjadi cacat dan
tidak akurat, entah itu dengan menyebutkan spesifik dari yang umum atau
menyebut terperinci dari yang global. Atau dia mengungkap-kan dengan
pemahamannya yang keliru sehingga berbeda dengan maksud yang sebenarnya, dan
bahkan menyebutkan kalimat yang tidak pernah diucapkan oleh nara sumber atau
pun mengurangi sebagian kalimat yang sebenarnya penting, namun dianggap tidak
penting oleh penyampai berita karena salah pemahamannya.
Demikian pula mungkin si pembawa
berita salah di dalam mengungkapkan dan memilih kata, sehingga maksudnya
menjadi berbeda dengan maksud pengucapnya. Dan yang lebih parah kalau seluruh
hal tersebut terdapat di dalam diri seseorang, kabar yang disampaikan tentu
menjadi berantakan tidak karuan.
Maka terkadang terjadi di masa ini
seseorang membawakan fatwa seorang ulama yang berbeda dengan fatwa sebenarnya,
yang disebabkan karena lemahnya hafalan atau kurangnya pemahaman, kadang pula
karena salah dalam mengungkapkan, dan kenyataan membuktikan itu semua.
Demikian pula kabar-kabar yang
menyangkut pribadi seseorang atau sebuah lembaga yang sama sekali tidak
memiliki landasan yang benar. Kesemua itu tidak lain karena sebab-sebab yang
telah tersebut di atas, ini jika memang pembawa berita kita anggap sebagai
orang yang jujur dan terbebas dari segala tuduhan dusta.
Imam al Hasan al Bashri berkata,"Seorang
mukmin adalah abstain (diam) sehingga dia bertabayyun."
Yang perlu ditekankan dalam
permasalahan ini adalah barang siapa yang diketahui sebagai seorang yang jujur,
bagus agamanya, bagus hafalan dan pemahamannya, bagus di dalam ungkapan serta
penyampaiannya, maka kita terima beritanya tanpa harus meneliti terlebih dahulu.
Jika ada cacat dalam salah satu sifat-sifat di atas, maka barulah tatsabbut
terhadap berita itu dilakukan, khususnya jika menyangkut permasalahan yang
urgen.
Maka ketika kita menyampaikan
berita, berupa fatwa ulama, ucapan yang bersumber dari seseorang atau dari
sebuah lembaga, yang paling utama adalah semaksimal mungkin menyampaikannya
berdasarkan apa adanya teks atau kalimat secara utuh, sebagai upaya untuk
menjauhi terjadi-nya hal-hal yang tidak diinginkan.
Semua yang tersebut di atas telah
diisyaratkan melalui sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam sebagai berikut,
artinya:
"Semoga Allah
memberikan cahaya kepada seorang hamba yang mendengarkan ucapanku lalu
menghafal dan memahaminya, menyampaikannya kepada yang belum mendengarnya.
Berapa banyak pembawa ilmu yang tidak faham terhadapnya, dan berapa banyak
orang yang menyampaikan ilmu kepada yang lebih faham daripada dirinya."
(HR.Ahmad dalam al Musnad 4/87)
Yang dapat diambil pelajaran dari hadits di atas
adalah:
·
Sabda Nabi,"Lalu
dia menghafal dan memahaminya" mengisyaratkan kepada hafalan yang kuat
dan pemahaman yang benar (lurus).
·
Sabda Nabi,"Dan
menyampaikannya kepada yang belum mendengarnya," mengisyaratkan pada
penyampaian berita sesuai dengan bunyi nash (teks).
·
Sabda Nabi,"Berapa
banyak pem-bawa ilmu namun tidak faham terhadapnya,"menunjukkan kepada
orang yang lemah pemahamannya.
·
Sabda Nabi,"Berapa
banyak orang yang menyampaikan ilmu kepada yang lebih faham dari pada
dirinya,"menunjukkan perbedaan tingkatan pemahaman, dan bahwa orang
yang mendengarkan berita bisa jadi mampu mengambil kesimpulan berupa sesuatu
yang tidak pernah disimpulkan oleh perawi.
Inilah pesan yang simpel tapi padat (jawami' al kalam)
yang disampaikan oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam kepada kita semua.
3. Menolak Ghibah
Telah bersabda Nabi Shalallaahu
alaihi wasalam, artinya:
"Barang siapa
yang membela kehormatan saudaranya yang sedang digun-jingkan maka merupakan hak
Allah untuk membebaskannya dari api neraka." (HR. Ahmad, lihat
shahih al jami' No.6240)
Barang siapa yang mendengarkan gunjingan (ghibah) serta ridha atau senang terhadapnya, maka dia telah ikut melakukan dosa, sebagaimana juga orang yang membela kehormatan saudaranya yang digunjing, maka dia juga mendapatkan pahala yang besar, "merupakan hak Allah untuk membebaskannya dari neraka."
Barang siapa yang mendengarkan gunjingan (ghibah) serta ridha atau senang terhadapnya, maka dia telah ikut melakukan dosa, sebagaimana juga orang yang membela kehormatan saudaranya yang digunjing, maka dia juga mendapatkan pahala yang besar, "merupakan hak Allah untuk membebaskannya dari neraka."
Diriwayatkan bahwa Ibrahim bin Adham
mengundang orang-orang dalam sebuah jamuan. Tatkala mereka duduk di hadapan
hidangan, mereka justru asyik membicarakan seseorang. Maka berkatalah Ibrahim,
"Sesungguhnya orang-orang sebelum kita, mereka memakan roti kemudian baru
makan daging, namun kalian kini memulai dengan makan daging (sindiran untuk
menggunjing, pen) sebelum makan roti."
Maka selayaknya setiap muslim
bersikap cemburu terhadap agamanya, yakni dengan bersikap tidak rela jika ada
seseorang yang melakukan ghibah dihadapannya. Karena kalau sampai rela, maka
dia telah bersekutu dalam dosa dengan si penggunjing, kalau sekiranya tidak
mampu melakukan pembelaan atau menghentikannya maka sebaiknya meninggalkan
tempat tersebut.
Demikian pula harus berhati-hati
dari melakukan ghibah dengan alasan untuk meluruskan orang lain dan maslahat
dakwah. Sebab terkadang ini merupakan tipu daya setan yang sering menjerumuskan
manusia, dimana ghibah yang mereka lakukan mereka kira sebagai bentuk maslahat
atau pun nasihat. Kalau toh itu benar-benar sebagai nasihat, maka juga harus
diperhatikan penerapannya, sebab terkadang hal tersebut menjadi pemicu bagi
terjadinya sesuatu yang tidak pernah diprediksikan sebelumnya.
Akhirnya marilah kita pegang sebuah
pesan yang merupakan pesan Rasul kepada kita yakni barang siapa beriman kepada
Allah, maka hendaklah berkata yang baik atau diam. Apabila kita tidak mampu
berkata yang baik lagi benar, maka diam adalah lebih baik bagi kita. Wallahu
a'lam bish shawab (Abu Ahmad Taja)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !