(ditulis
oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah)
Banyak hal dalam keseharian kita yang
mesti dikoreksi. Karena ada di antara kebiasaan yang lazim berlaku di tengah
masyarakat kita namun sesungguhnya menyimpang dari syariat. Berjabat tangan
dengan lawan jenis adalah contohnya. Praktik ini tersuburkan dengan minimnya
keteladanan dari mereka yang selama ini disebut tokoh agama.
Idul Fithri sebentar lagi datang di tengah kita. Saat seorang muslim
bertemu dengan saudaranya masih terdengar tahni`ah, ucapan selamat,
“taqabballahu minna wa minkum1.” Tradisi salam-salaman alias berjabat tangan di
negeri kita saat hari raya masih terus berlangsung, walaupun sebenarnya untuk
saling berjabat tangan dan meminta maaf tidak perlu menunggu hari raya2. Kapan kita
memiliki kesalahan maka segera meminta maaf, dan kapan kita bertemu dengan
saudara kita maka kita mengucapkan salam dan berjabat tangan.
Berjabat tangan yang dalam bahasa Arab disebut dengan mushafahah memang
perkara yang ma’ruf, sebuah kebaikan. Hudzaifah z menyampaikan ucapan
Rasulullah n:
إِنَّ الْـمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ
الْـمُؤْمِنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَصَافَحَهُ، تَنَاثَرَتْ
خَطَايَاهُمَا كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرِ
“Sesungguhnya seorang mukmin apabila bertemu dengan mukmin yang lain, lalu
ia mengucapkan salam dan mengambil tangannya untuk menjabatnya, maka akan
berguguran kesalahan-kesalahan keduanya sebagaimana bergugurannya daun-daun
pepohonan.” (HR. Al-Mundziri dalam At-Targhib 3/270, Al-Haitsami dalam
Al-Majma’ 8/36, lihat Ash-Shahihah no. 526)
Amalan yang pertama kali dicontohkan oleh ahlul Yaman (penduduk Yaman)3
kepada penduduk Madinah ini biasa dilakukan di tengah masyarakat kita. Kata
sahabat Rasulullah n yang bernama Al-Bara` bin ‘Azib z:
مِنْ تَمَامِ التَّحِيَّةِ أَنْ تُصَافِحَ
أَخَاكَ
“Termasuk kesempurnaan tahiyyah (ucapan salam) adalah engkau menjabat
tangan saudaramu.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 968, Asy-Syaikh
Al-Albani t dalam Shahih Al-Adabil Mufrad menyatakan: Sanadnya shahih secara
mauquf)
Berjabat tangan telah jelas kebaikannya. Namun bagaimana kalau laki-laki
dan perempuan yang bukan mahram saling berjabat tangan, apakah suatu kebaikan
pula? Tentu saja tidak!!! Walaupun menurut perasaan masyarakat kita, tidaklah
beradab dan tidak punya tata krama sopan santun, bila seorang wanita diulurkan
tangan oleh seorang lelaki dari kalangan karib kerabatnya, lalu ia menolak
untuk menjabatnya. Dan mungkin lelaki yang uluran tangannya di-”tampik” itu
akan tersinggung berat. Sebutan yang jelek pun akan disematkan pada si wanita.
Padahal si wanita yang menolak berjabat tangan tersebut melakukan hal itu
karena tahu tentang hukum berjabat tangan dengan laki-laki yang bukan
mahramnya.
Rasul yang mulia n sebagai qudwah kita, tak pernah mencontohkan berjabat
tangan dengan wanita yang bukan mahramnya. Bahkan beliau mengharamkan seorang
lelaki menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Beliau pernah bersabda:
لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ
بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ
لَهُ
“Kepala salah seorang ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya
daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR. Ath-Thabarani dalam
Al-Kabir 20/210 dari Ma’qil bin Yasar z, lihat Ash-Shahihah no. 226)
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata, “Dalam hadits ini ada ancaman yang keras
bagi lelaki yang menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Dan juga merupakan
dalil haramnya berjabat tangan dengan para wanita, karena jabat tangan tanpa
diragukan masuk dalam pengertian menyentuh. Sungguh kebanyakan kaum muslimin di
zaman ini ditimpa musibah dengan kebiasaan berjabat tangan dengan wanita
(dianggap sesuatu yang lazim, bukan suatu kemungkaran, -pent.). Di kalangan
mereka ada sebagian ahlul ilmi, seandainya mereka mengingkari hal itu hanya di
dalam hati saja, niscaya sebagian perkaranya akan menjadi ringan. Namun
ternyata mereka menganggap halal berjabat tangan tersebut dengan beragam jalan
dan takwil. Telah sampai berita kepada kami ada seorang tokoh besar di Al-Azhar
berjabat tangan dengan para wanita dan disaksikan oleh sebagian mereka. Hanya
kepada Allah l kita sampaikan pengaduan dengan asingnya ajaran Islam ini di
tengah pemeluknya sendiri. Bahkan sebagian organisasi-organisasi Islam
berpendapat bolehnya jabat tangan tersebut. Mereka berargumen dengan apa yang
tidak pantas dijadikan dalil, dengan berpaling dari hadits ini4 dan
hadits-hadits lain yang secara jelas menunjukkan tidak disyariatkan jabat
tangan dengan kaum wanita non-mahram.” (Ash-Shahihah, 1/448-449)
Dalam membaiat para shahabiyyah sekalipun, Rasulullah n tidak menjabat
tangan mereka5. Aisyah x istri beliau n mengabarkan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n كَانَ يَمْتَحِنُ مَنْ
هَاجَرَ إِلَيْهِ مِنَ الْـمُؤْمِنَاتِ بِهَذِهِ الْآيَةِ بِقَوْلِ اللهِ تَعَالَى
{ياَ أيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْـمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ} إِلَى
قَوْلِهِ {غَفُورٌ رَحِيمٌ} قَالَ عُرْوَةُ: قَالَتْ عَائِشَةُ: فَمَنْ أَقَرَّ
بِهَذَا الشَّرْطِ مِنَ الْـمُؤْمِنَاتِ، قَالَ لـَهَا رَسُولُ اللهِ n: قَدْ
باَيَعْتُكِ؛ كَلاَمًا، وَلاَ وَاللهِ مَا مَسَّتْ يَدُهُ يَدَ امْرَأَةٍ قَطُّ
فِي الْـمُبَايَعَةِ، مَا يبُاَيِعُهُنَّ إِلاَّ بِقَوْلِهِ: قَدْ باَيَعْتُكِ
عَلَى ذَلِكَ
Sesungguhnya Rasulullah n menguji kaum mukminat yang berhijrah kepada
beliau dengan firman Allah ta’ala: “Wahai Nabi, apabila datang kepadamu wanita-wanita
yang beriman untuk membaiatmu….” Sampai pada firman-Nya: “Allah Maha Pengampun
lagi Penyayang.” Urwah berkata, “Aisyah mengatakan: ‘Siapa di antara
wanita-wanita yang beriman itu mau menetapkan syarat yang disebutkan dalam ayat
tersebut’.” Rasulullah n pun berkata kepadanya, “Sungguh aku telah membaiatmu”,
beliau nyatakan dengan ucapan (tanpa jabat tangan).” Aisyah berkata, “Tidak,
demi Allah! Tangan beliau tidak pernah sama sekali menyentuh tangan seorang
wanita pun dalam pembaiatan. Tidaklah beliau membaiat mereka kecuali hanya
dengan ucapan, “Sungguh aku telah membaiatmu atas hal tersebut.” (HR.
Al-Bukhari no. 4891 dan Muslim no. 4811)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t berkata, “Rasulullah n membaiat mereka
hanya dengan mengucapkan “Sungguh aku telah membaiatmu”, tanpa beliau menjabat
tangan wanita tersebut sebagaimana kebiasaan yang berlangsung pada pembaiatan
kaum lelaki dengan menjabat tangan mereka.” (Fathul Bari, 8/811)
Al-Imam An-Nawawi t menyatakan bahwa hadits ini menunjukkan tidak bolehnya
menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (non mahram) tanpa keperluan darurat, seperti
karena pengobatan dan hal lainnya bila memang tidak didapatkan dokter wanita
yang bisa menanganinya. Karena keadaan darurat, seorang wanita boleh berobat
kepada dokter laki-laki ajnabi (bukan mahram si wanita). (Al-Minhaj, 13/14)
Umaimah bintu Ruqaiqah berkata: “Aku bersama rombongan para wanita
mendatangi Rasulullah n untuk membaiat beliau dalam Islam. Kami berkata, “Wahai
Rasulullah, kami membaiatmu bahwa kami tidak menyekutukan Allah dengan
sesuatupun, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami,
tidak melakukan perbuatan buhtan yang kami ada-adakan di antara tangan dan kaki
kami, serta kami tidak akan bermaksiat kepadamu dalam perkara kebaikan.” Rasulullah
n bersabda, “Sesuai yang kalian mampu dan sanggupi.” Umaimah berkata, “Kami
berucap, ‘Allah dan Rasul-Nya lebih sayang kepada kami daripada sayangnya kami
kepada diri-diri kami. Marilah, kami akan membaiatmu6 wahai Rasulullah!’.”
Rasulullah n kemudian berkata:
إِنِّي لاَ أُصَافِحُ النِّسَاءَ،
إِنَّمَا قَوْلِي لـِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ
“Sesungguhnya aku tidak mau berjabat tangan dengan kaum wanita. Hanyalah
ucapanku kepada seratus wanita seperti ucapanku kepada seorang wanita.” (HR.
Malik 2/982/2, An-Nasa`i dalam ‘Isyratun Nisa` dari As-Sunan Al-Kubra 2/93/2,
At-Tirmidzi, dll. Lihat Ash-Shahihah no. 529)
Dari hadits-hadits yang telah disebutkan di atas, jelaslah larangan
berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram. Karena seorang lelaki haram
hukumnya menyentuh atau bersentuhan dengan wanita yang tidak halal baginya.
Al-Imam Asy-Syinqinthi t berkata, “Tidaklah diragukan bahwa sentuhan tubuh
dengan tubuh lebih kuat dalam membangkitkan hasrat laki-laki terhadap wanita,
dan merupakan pendorong yang paling kuat kepada fitnah daripada sekedar
memandang dengan mata.7 Dan setiap orang yang adil/mau berlaku jujur akan
mengetahui kebenaran hal itu.” (Adhwa`ul Bayan, 6/603)
Sebagian orang bila ingin berjabat tangan dengan wanita ajnabiyyah atau
seorang wanita ingin berjabat tangan dengan lelaki ajnabi, ia meletakkan
penghalang di atas tangannya berupa kain, kaos tangan dan semisalnya. Seolah
maksud dari larangan jabat tangan dengan ajnabi hanyalah bila kulit bertemu
dengan kulit, adapun bila ada penghalang tidaklah terlarang. Anggapan seperti
ini jelas batilnya, karena dalil yang ada mencakupinya dan sebab pelarangan
jabat tangan dengan ajnabi tetap didapatkan meski berjabat tangan memakai
penghalang.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t berkata, “Tidak boleh berjabat tangan
dengan wanita yang bukan mahram, baik si wanita masih muda ataupun sudah tua.
Dan sama saja baik yang menjabatnya itu anak muda atau kakek tua, karena adanya
bahaya fitnah (ujian/cobaan) yang bisa didapatkan oleh masing-masingnya.”
Asy-Syaikh juga berkata, “Tidak ada bedanya baik jabat tangan itu dilakukan
dengan ataupun tanpa penghalang, karena keumuman dalil yang ada. Juga dalam
rangka menutup celah-celah yang mengantarkan kepada fitnah (ujian/cobaan).”
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin t mengatakan, “Segala sesuatu yang menyebabkan
fitnah (godaan) di antara laki-laki dan perempuan hukumnya haram, berdasarkan
sabda Rasulullah n:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ
عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi
laki-laki daripada fitnah wanita.”
Tidaklah diragukan bahwa bersentuhannya kulit laki-laki dengan kulit
perempuan akan menimbulkan fitnah. Kalaupun ada yang tidak terfitnah maka itu
jarang sekali, sementara sesuatu yang jarang terjadinya tidak ada hukumnya
sebagaimana dinyatakan oleh ahlul ilmi. Sungguh ahlul ilmi telah menulis
permasalahan ini dan mereka menerangkan tidak halalnya laki-laki berjabat
tangan dengan wanita ajnabiyah. Inilah kebenaran dalam masalah ini. Berjabat
tangan dengan non mahram adalah perkara yang terlarang, baik dengan pengalas
atau tanpa pengalas.”
Beliau juga mengatakan, “Secara umum, tergeraknya syahwat disebabkan
sentuhan kulit dengan kulit lebih kuat daripada sekedar melihat dengan
pandangan mata/tidak menyentuh. Bila seorang lelaki tidak dibolehkan memandang
telapak tangan wanita yang bukan mahramnya, lalu bagaimana dibolehkan ia
menggenggam telapak tangan tersebut?” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/541-543)
Demikian masalah hukum berjabat tangan antara lelaki dan wanita yang bukan
mahram.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Ucapan selamat pada hari Id ini pernah ditanyakan kepada Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah t sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa (24/253). Beliau menjawab,
“Tidak ada asalnya dalam syariat. Telah diriwayatkan dari sekelompok sahabat
bahwa mereka melakukannya. Sebagian imam memberi rukhshah untuk melakukannya
seperti Al-Imam Ahmad t dan selainnya. Akan tetapi Al-Imam Ahmad t berkata,
‘Aku tidak memulai mengucapkannya kepada seseorang. Namun bila ada yang lebih
dahulu mengucapkannya kepadaku, aku pun menjawabnya karena menjawab tahiyyah
itu wajib.’ Adapun memulai mengucapkan tahni`ah bukanlah sunnah yang
diperintahkan dan juga tidak dilarang. Siapa yang melakukannya maka ia punya
contoh dan siapa yang meninggalkannya maka ia punya contoh.”
Yang dimaksudkan tahiyyah oleh Imam Ahmad t adalah firman Allah k:
“Dan apabila kalian diberi ucapan salam penghormatan maka jawablah dengan
yang lebih baik darinya atau balaslah dengan yang semisalnya.” (An-Nisa`: 86)
2 Saling mengunjungi saat hari raya dan berjabat tangan ketika berjumpa di
hari raya, demikian pula saling mengucapkan selamat, bukanlah perkara yang
disyariatkan bagi pria maupun wanita. Namun demikian, hukumnya tidak sampai
bid’ah. Terkecuali bila pelakunya menganggap hal itu sebagai taqarrub (ibadah
yang dapat mendekatkan diri) kepada Allah l , barulah sampai pada bid’ah karena
hal itu tidak pernah dilakukan di masa Nabi n. (Nashihati lin Nisa`, Ummu
Abdillah bintu Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i t, hal. 124)
3 Anas bin Malik z berkata:
لـَماَّ جاَءَ أَهْلُ الْيَمَنِ، قَالَ
النَّبِيُّ n: قَدْ
أَقْبَلَ أَهْلُ الْيَمَنِ وَهُمْ أَرَقُّ قُلُوْبًا مِنْكُمْ، فَهُمْ أَوَّلُ
مَنْ جَاءَ بِالْـمُصَافَحَةِ
Tatkala datang ahlul Yaman, berkatalah Nabi n: “Sungguh telah datang ahlul
Yaman, mereka adalah orang-orang yang paling halus/lembut hatinya daripada
kalian.” (Kata Anas): “Mereka inilah yang pertama kali datang membawa
mushafahah (adat berjabat tangan).” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no.
967, lihat Shahih Al-Adabil Mufrad dan Ash-Shahihah no. 527)
4 Hadits Ma’qil bin Yasar z yang telah disebutkan di atas.
5 Dalam hadits yang dikeluarkan oleh Al-Imam Ahmad (2/213) dari Abdullah
bin ‘Amr z, bahwasanya Rasulullah n bersabda:
كَانَ لاَ يُصَافِحُ النِّسَاءَ فِي
الْبَيْعَةِ
“Beliau tidak menjabat tangan para wanita dalam baiat.” (Dihasankan
sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 530)
6 Dijelaskan oleh Sufyan bahwa maksud mereka adalah, “Marilah engkau
menjabat tangan kami.” Dalam riwayat Ahmad disebutkan dengan lafadz:
قُلْنَا: يَا رَسولَ اللهِ، أَلاَ تُصَافِحُنَا؟
“Kami katakan, ‘Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjabat tangan kami?’.”
7 Sementara memandang wanita yang bukan mahram dengan sengaja adalah
perkara yang dilarang dalam syariat. Bila demikian, tentunya lebih terlarang
lagi bila lebih dari sekedar memandang.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !