Di antara keutamaan hari Arofah (9
Dzulhijah) disebutkan dalam hadits berikut,
مَا مِنْ
يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ
يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ
فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
“Di
antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah di hari
Arofah (yaitu untuk orang yang berada di Arofah). Dia akan mendekati mereka
lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah
berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?”[20]
Itulah keutamaan orang yang berhaji.
Saudara-saudara kita yang sedang wukuf di Arofah saat ini telah rela
meninggalkan sanak keluarga, negeri, telah pula menghabiskan hartanya, dan
badan-badan mereka pun dalam keadaan letih. Yang mereka inginkan hanyalah
ampunan, ridho, kedekatan dan perjumpaan dengan Rabbnya. Cita-cita mereka yang
berada di Arofah inilah yang akan mereka peroleh. Derajat mereka pun akan
tergantung dari niat mereka masing-masing.[21]
Keutamaan yang lainnya, hari arofah
adalah waktu mustajabnya do’a. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari
kakeknya, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ
الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Sebaik-baik
do’a adalah do’a pada hari Arofah.”[22]
Maksudnya, inilah doa yang paling cepat dipenuhi atau terkabulkan.[23] Jadi
hendaklah kaum muslimin memanfaatkan waktu ini untuk banyak berdoa pada Allah.
Do’a pada hari Arofah adalah do’a yang mustajab karena dilakukan pada waktu
yang utama.
Jangan
Tinggalkan Puasa Arofah
Bagi orang yang tidak berhaji dianjurkan
untuk menunaikan puasa Arofah yaitu pada tanggal 9 Dzulhijah. Hal ini
berdasarkan hadits Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ
يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى
قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ
عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Puasa
Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa
Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.”[24] Hadits ini menunjukkan bahwa puasa Arofah lebih
utama daripada puasa ‘Asyuro. Di antara alasannya, Puasa Asyuro berasal dari
Nabi Musa, sedangkan puasa Arofah berasal dari Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.[25] Keutamaan puasa Arofah adalah
akan menghapuskan dosa selama dua tahun dan dosa yang dimaksudkan di sini
adalah dosa-dosa kecil. Atau bisa pula yang dimaksudkan di sini adalah
diringankannya dosa besar atau ditinggikannya derajat.[26]
Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak
dianjurkan melaksanakan puasa Arofah.
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
أَنَّ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ
الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ
“Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan
minuman susu, beliau pun meminumnya.”[27]
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa
beliau ditanya mengenai puasa hari Arofah di Arofah. Beliau mengatakan,
حَجَجْتُ
مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ أَبِى بَكْرٍ فَلَمْ
يَصُمْهُ وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ.
وَأَنَا لاَ أَصُومُهُ وَلاَ آمُرُ بِهِ وَلاَ أَنْهَى عَنْهُ
“Aku
pernah berhaji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak
menunaikan puasa pada hari Arofah. Aku pun pernah berhaji bersama Abu Bakr,
beliau pun tidak berpuasa ketika itu. Begitu pula dengan ‘Utsman, beliau tidak
berpuasa ketika itu. Aku pun tidak mengerjakan puasa Arofah ketika itu. Aku pun
tidak memerintahkan orang lain untuk melakukannya. Aku pun tidak melarang jika
ada yang melakukannya.”[28]
Dari sini, yang lebih utama bagi orang
yang sedang berhaji adalah tidak berpuasa ketika hari Arofah di Arofah dalam
rangka meneladani Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para Khulafa’ur
Rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman), juga agar lebih menguatkan diri dalam
berdo’a dan berdzikir ketika wukuf di Arofah. Inilah pendapat mayoritas
ulama.[29]
Puasa
Hari Tarwiyah (8 Dzulhijah)
Ada riwayat yang menyebutkan,
صَوْمُ
يَوْمَ التَّرْوِيَّةِ كَفَارَةُ سَنَة
“Puasa
pada hari tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun yang lalu.”
Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini
tidak shahih.[30] Asy Syaukani mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih dan
dalam riwayatnya ada perowi yang pendusta.[31] Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini dho’if (lemah).[32]
Oleh karena itu, tidak perlu berniat
khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzulhijjah karena hadisnya dha’if (lemah).
Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadits shahih yang menjelaskan
keutamaan berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, maka itu diperbolehkan.
Wallahu a’lam.
Siapakah
yang Harus Diikuti dalam Puasa Arofah?
Permasalahan ini sering muncul dari
berbagai pihak ketika menghadapi hari Arofah. Ketika para jama’ah haji sudah
wukuf tanggal 9 Dzulhijah di Saudi Arabia, padahal di Indonesia masih tanggal 8
Dzulhijah, mana yang harus diikuti dalam puasa Arofah? Apakah ikut waktu
jama’ah haji wukuf atau ikut penanggalan Hijriyah di negeri ini
sehingga puasa Arofah tidak berpapasan dengan wukuf di Arofah?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
mendapat pertanyaan sebagai berikut,
إذا اختلف
يوم عرفة نتيجة لاختلاف المناطق المختلفة في مطالع الهلال فهل نصوم تبع رؤية البلد
التي نحن فيها أم نصوم تبع رؤية الحرمين؟
“Jika terdapat perbedaan tentang
penetapan hari Arofah disebabkan perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal
karena pengaruh perbedaan daerah. Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri
yang kami tinggali ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”
Syaikh rahimahullah menjawab,
هذا يبنى
على اختلاف أهل العلم: هل الهلال واحدفي الدنيا كلها أم هو يختلف باختلاف المطالع؟
والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع، فمثلاً إذا كان الهلال قد رؤي بمكة، وكان هذا
اليوم هو اليوم التاسع، ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم
العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لأنه يوم عيد، وكذلك لو قدر أنه
تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم، فإنهم يصومون يوم
التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة، هذا هو القول الراجح، لأن النبي صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول: «إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا»
وهؤلاء الذين لم يُر في جهتهم لم يكونوا يرونه، وكما أن الناس بالإجماع يعتبرون
طلوع الفجر وغروب الشمس في كل منطقة بحسبها، فكذلك التوقيت الشهري يكون كالتوقيت
اليومي.
“Permasalahan ini adalah derivat dari
perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah
berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu
berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.
Misalnya di Mekkah terlihat hilal
sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah. Sedangkan di negara lain, hilal
Dzulhijjah telah terlihat sehari sebelum ru’yah Mekkah sehingga tanggal 9
Dzulhijjah di Mekkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak
boleh bagi penduduk Negara tersebut untuk berpuasa Arofah pada hari ini karena
hari ini adalah hari Iedul Adha di negara mereka.
Demikian pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah
di negara itu selang satu hari setelah ru’yah di Mekkah sehingga tanggal 9
Dzulhijjah di Mekkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk
negara tersebut berpuasa Arofah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski
hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.
Inilah pendapat yang paling kuat dalam
masalah ini karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal Ramadhan hendaklah kalian berpuasa
dan jika kalian melihat hilal Syawal hendaknya kalian berhari raya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Orang-orang yang di daerah mereka hilal
tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang yang melihatnya.
Sebagaimana manusia bersepakat bahwa
terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya
masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu
harian (yaitu mengikuti daerahnya masing-masing).” [33] –Demikian penjelasan
dari Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah-. Namun kami menghargai pendapat yang berbeda dengan
penjelasan Syaikh di atas. Hendaklah kita bisa menghargai pendapat ulama yang
masih ada ruang ijtihad di dalamnya.
Demikian pembahasan kami mengenai amalan
di awal Dzulhijah dan puasa Arofah. Semoga Allah memudahkan kita beramal sholih
dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi-Nya.
***
Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul,
27 Dzulqo’dah 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Footnote:
[1] HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi
no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan
bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.
[2] Lihat Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 923,
Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[3] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 6/153, Mawqi’ At Tafasir.
[4] Lihat Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hal. 159,
Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan tahun 1424 H.
[5] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 469, Al Maktab Al
Islamiy, cetakan pertama, tahun 1428 H.
[6] HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi
no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan
bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.
[7] Latho-if Al Ma’arif, hal. 456.
[8] Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 457 dan 461.
[9] Idem
[10] Latho-if Al Ma’arif, hal. 458.
[11] Idem
[12] Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hal. 116,
119-121, Dar Al Imam Ahmad.
[13] Yang jadi patokan di sini adalah
bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi.
[14] HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[15] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459.
[16] HR. Muslim no. 1176, dari ‘Aisyah
[17] Fathul Bari,
3/390, Mawqi’ Al Islam
[18] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459-460.
[19] Lihat Fathul Bari,
3/390 dan Latho-if Al Ma’arif, hal. 460.
[20] HR. Muslim no. 1348, dari ‘Aisyah.
[21] Lihat Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, Al Mala ‘Alal Qori, 9/65,Mawqi’ Al Misykah Al
Islamiyah.
[22] HR. Tirmidzi no. 3585. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[23] Lihat Tuhfatul Ahwadziy, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri
Abul ‘Ala, 8/482, Mawqi’ Al Islam.
[24] HR. Muslim no. 1162, dari Abu
Qotadah.
[25] Lihat Fathul Bari,
6/286.
[26] Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 4/179, Mawqi’ Al Islam.
[27] HR. Tirmidzi no. 750. At Tirmidzi
mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih
[30] Lihat Al Mawdhu’at, 2/565, dinukil dari http://dorar.net
[31] Lihat Al Fawa-id Al Majmu’ah, hal. 96, dinukil dari http://dorar.net
[32] Lihat Irwa’ul Gholil no. 956.
[33] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin
Sholih Al ‘Utsaimin, 20/47-48, Darul Wathon – Darul
Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !