Hukum sebab akibat adalah fakta yang
disepakati adanya oleh seluruh penduduk bumi. Termasuk tercapainya
keinginan dan terhindarnya manusia dari bencana, pasti ada sebab yang
mendahuluinya. Hanya saja, manusia berbeda-beda dalam mengidentifikasi
sebab yang sesungguhnya.
Sebab-Akibat, Menurut Ahli Maksiat
Kaum atheis yang tidak mengenal Allah, menyandarkan pemenuhan kebutuhan dan peraihan cita-cita mereka kepada kemampuannya. Tak
ada istilah do’a dalam kamus kehidupan mereka. Berhasil menurut mereka
adalah buah dari kemampuan usaha semata. Selamat menurut mereka,
melulu dikarenakan kesigapan atau cermatnya perhitungan. Begitupun
dengan kegagalan dan kecelakaan, terjadi lantaran keterbatasan
kemampuan atau kecerobohan. Padahal akal sehat sepakat, kemampuan
manusia serba terbatas, sementara besarnya rintangan dan bahaya jauh
berlipat. Maka tatkala ikhtiar ragawi sudah klimaks, pikiran juga sudah
buntu mencari jalan keluar, yang tinggal hanyalah rasa putus asa.
Karena mereka kaum yang kafir tidak mengenal cara lain sesudah itu.
Sebagian
lagi, sedikit ‘lebih mending’ dari mereka. Di saat kehidupan terasa
lapang, nyaman dan menyenangkan, mereka cenderung lalai, tidak menjaga
ketaatan, dan berlaku syirik. Namun jika tiba-tiba kesempitan dan
bahaya terpampang di hadapan mata, serta-merta mereka tinggalkan
sesembahan yang mereka agungkan selain Allah, kemudian berdoa dengan
ikhlas memohon hanya kepada Allah. Akal mereka masih waras, kekuatan
manusia tak mampu mengatasi kesulitan yang dihadapinya. Sejenak mereka
juga sadar, berhala batu, kayu maupun jimat yang mereka agungkan tak
lebih hanya pajangan yang tak bisa membantu apa-apa. Allah mengisahkan
tentang mereka,
Dan apabila kamu ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa yang kamu seru kecuali Dia. Maka tatkala Dia menyelamatkan kamu ke daratan, kamu berpaling. Dan manusia adalah selalu tidak berterima kasih. (QS al-Isra’ 67)
Begitulah
karakter orang musyrik zaman dulu, hanya mengenal Allah di saat
sempit, tapi berpaling di saat lapang. Sekarang, kesyirikan yang
terjadi lebih parah lagi. Mereka tak hanya mempersekutukan Allah pada
saat rakha’ (longgar) saja, bahkan di saat syiddah (sempit), kesyirikan makin menjadi.
Bukankah saat Allah turunkan peringatan dengan muntahan lava pijar,
hembusan awan panas disertai hujan kerikil dan suara gemuruh dari
perut bumi yang membuat hati miris, manusia tidak kemudian mentauhidkan
Allah dan meninggalkan perilaku syirik? Mereka justru mengadakan
ritual tolak bala dengan menyembelih kerbau, dagingnya mereka makan, sedang kepala ditanam di lereng gunung untuk sesaji?
Sebab-Akibat Menurut Mukmin yang Taat
Adapun orang mukmin memiliki
sikap yang berbeda, bahkan berseberangan dengan itu semua. Bagi mereka,
’tabungan’ kebaikan yang dijalani secara kontinyu dalam suka dan duka,
adalah sebab dominan datangnya keberuntungan, dan terhindarnya mereka
dari petaka. Mereka mengimani kebenaran sabda Nabi saw,
تَعَرَّفْ إِلَى اللهِ فِى الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِى الشِّدَّةِ
”Kenalilah Allah di saat lapang, niscaya Allah akan mengenalimu di saat sempit.” (HR Tirmidzi)
Waktu
longgar baginya adalah saat menabung, investasi amal kepada Allah;
dengan memelihara hak-hak-Nya, menjaga batas-batas yang telah
ditetapkan oleh-Nya, termasuk menjalankan ibadah-ibadah sunnah. Dengan
itulah seorang mukmin membangun hubungan ma’rifah khashshah ( hubungan khusus) dengan Rabb-nya. Hal itu tak hanya bermanfaat baginya menghadapi hari akhirat yang merupakan asyaddu syiddah (kesempitan
yang paling berat), bahkan juga bermanfaat baginya ketika menghadapi
kegentingan di dunia. Kisah tiga orang yang terjebak di gua, merupakan
contoh betapa amal shalih yang dilakukan dengan ikhlas, dapat menjadi wasilah dikabulkannya doa di saat sulit.
Imam al-Baihaqi juga meriwayatkan dari Salman al-Farisi, bahwa beliau berkata,
” إِذَا كَانَ الرَّجُلُ يَدْعُو اللهَ فِي السَّرَّاءِ ، فَنَزَلَتْ بِهِ الضَّرَّاءُ فَيَدْعُو فَتَقُولُ الْمَلَائِكَةُ: صَوْتٌ مَعْرُوفٌ مِنْ آدَمِيٍّ ضَعِيفٍ، كَانَ يَدْعُو فِي السَّرَّاءِ، فَيَشْفَعُونَ لَهُ ؛ وَإِذَا كَانَ الرَّجُلُ لَا يَدْعُو اللهَ فِي السَّرَّاءِ فَنَزَلَتْ بِهِ الضَّرَّاءُ فَدَعَا فَيَقُولُ الْمَلَائِكَةُ: صَوْتٌ مُنْكَرٌ مِنْ آدَمِيٍّ ضَعِيفٍ كَانَ لَا يَدْعُو فِي السَّرَّاءِ فَنَزَلَتْ بِهِ الضَّرَّاءُ فَلَا يَشْفَعُونَ لَهُ “
Apabila
seseorang berdoa kepada Allah pada saat longgar, kemudian kesulitan
menerpanya, lalu dia berdoa, maka malaikat berkata, “(Ini) Suara yang
telah dikenal, dari manusia yang lemah, dan sebelumnya biasa berdoa di
saat lapang.” Maka para malaikat memintakan syafaat (kepada Allah)
untuknya. Dan jika seseorang tidak pernah berdoa di saat lapang,
kemudian kesulitan menerpanya lantas dia berdoa, maka malaikat berkata,
“Suara yang asing (tidak dikenal) dari seorang manusia lemah,
sebelumnya tidak pernah berdoa pada saat lapang, lantas di saat sulit
dia berdoa”. Maka malaikat tidak memintakan baginya syafa’at
/pertolongan (kepada Allah).
Kebenaran
rumus ini telah terbukti dan dialami oleh Nabi Yunus alaihissalam.
Ketika beliau berada dalam perut ikan, tak ada lagi ikhtiar yang mampu
dia lakukan. Mustahil pula beliau meminta pertolongan orang lain dalam
kondisi itu. Tapi beliau tahu, ada Dzat yang mampu menolongnya. Yang
beliau taati saat kondisi aman, tak mungkin membiarkan beliau dalam
kondisi ketakutan. Dalam kegelapan perut ikan itu, beliau berdoa,
لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ
“Tidak ada Ilah yang haq melainkan Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang dzalim.” (Al-Anbiya: 87)
Ucapan
tasbih itu didengar oleh Allah, dan Allahpun menyelamatkan beliau.
Hanya saja, tasbih yang dilantunkan oleh Yunus itu bukan kali pertama
beliau ucapkan. Beliau terbiasa mengucapkannya dalam kondisi lapang.
Karena itulah Allah menolongnya,
“Maka
kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat
Allah (bertasbih), niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu
sampai hari berbangkit.” (Ash-Shaffat: 143-144)
Begitupun
yang terjadi atas Nabi Musa beserta kaumnya yang beriman. Ketika
mereka dikejar oleh Fair’aun dan pasukannya, jalan mereka buntu. Di
hadapan mereka terbentang samudera yang luas. Sementara di belakang
mereka pasukan Fir’aun yang menurut penuturan Ibnu Jarir berjumlah satu
juta tentara. Ada pula yang mengatakan 600.000 pasukan. Di depan ada
laut, sedang di belakang sejuta pedang telah terhunus, hingga Bani
Israel berkata, “Inna lamudrakuun”, Sesungguhnya kita
benar-benar akan tersusul”. (QS asy-Syu’ara 61). Tapi, meski situasi
benar-benar terjepit, tak ada putus harap bagi orang yang menjaga hak
Allah di saat lapang. Dengan yakin Musa alaihis salam berkata,
“Sekali-kali tidak akan tersusul; Sesungguhnya Rabbku besertaku, kelak
Dia akan memberi petunjuk kepadaku”.(QS asy-Syu’ara’ 62)
Beliau
yakin, karena beliau menjaga hak Allah di saat longgar, pastilah Allah
tak akan menelantarkannya di saat sempit. Maka tatkala pasukan Fir’aun
merangsek, sementara Musa dan teman-temannya makin dekat dengan bibir
pantai, Allah mewahyukan kepada Musa untuk memukulkan tongkatnya ke
laut. Atas kehendak Allah, lautpun terbelah. Mereka menyeberang dengan
selamat, sementara Fir’aun dan bala tentaranya tenggelam di laut.
Adapun
yang terjadi atas Nabi saw, sangat banyak kisah bertebaran tentangnya.
Betapa banyak peristiwa genting yang beliau alami, lalu Allah
menyelamatkan beliau dari bahaya musuh.
Menabung Kebaikan Menuai Kemudahan
Rumus ini tak hanya berlaku bagi para anbiya’. Siapapun yang mengenal Allah dan menjaga hak-hak-Nya di saat aman, Allah akan mengenalnya di saat genting. Karena itulah, seorang mukmin tak pernah bosan mengumpulkan kebaikan. Dia selalu menjaga pengabdiannya kepada Allah dalam segala kondisi; di saat suka dan duka, lapang dan sempit dan saat mudah maupun sulit. Rasulullah saw bersabda,
لَنْ يَشْبَعَ مُؤْمِنٌ مِنْ خَيْرٍ حَتَّى يَكُونَ مُنْتَهَاهُ الجَنَّةَ
“Tidak kenyang-kenyangnya orang yang beriman dari (mengumpulkan) kebaikan, hingga dia berhenti di jannah.”(HR Tirmidzi, beliau berkata, “ hadits hasan”).
Mereka
yakin, pada saatnya kebaikan itu akan berbuah kebahagiaan. Juga
menjadi sebab datangnya pertolongan di dunia. Dan puncaknya adalah
dijauhkannya mereka dari neraka; kesempitan yang paling berat dan
penderitaan yang paling dahsyat. Alangkah indah nasihat sebagian ulama
salaf, ”Jika kamu menyadari amalmu akan ditimbang, baik dan buruknya,
maka jangan remehkan kebaikan sekecil apapun. Karena kelak kamu akan
melihat, yang sedikit itu akan membahagiakan dirimu. Dan jangan pula
menganggap enteng keburukan sekecil apapun. Karena kelak kamu akan
saksikan, bahwa yang sedikit itu akan membuatmu menyesal.” Wallahu
a’lam. (Abu Umar Abdillah dalam http://www.arrisalah.net/kolom/2011/01/tebar-kebaikan-panen-kemudahan.html)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !